Jika diuraikan dengan kata-kata, keindahan langit memang tidak akan
pernah ada habisnya. Sungguh Maha Besar bagi Dia yang menciptakan langit
dengan segala isinya.
Kali ini kita akan bersama-sama menguraikan rasa penasaran tentang
cahaya yang berpendar luar biasa anggun dalam dinginnya atmosfer lintang
tinggi. Kemilau cahayanya yang terang menyerupai fajar di pagi hari,
mampu menimbulkan mitos di kalangan Bangsa Yunani. Mereka menyebut
pendar cahaya itu sebagai kehadiran Sang Dewa Fajar. Namun demikian,
seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, mitos Dewa Fajar itu telah
tersisihkan dengan nama Aurora. Aurora
merupakan pancaran cahaya pada langit daerah lintang tinggi, sebagai
akibat atas pembelokan partikel angin matahari oleh magnetosfer ke arah
kutub, serta adanya reaksi dengan molekul-molekul atmosfer.
Matahari, atau Bintang merah yang menjadi pusat orbit planet-planet
wilayah tatasurya ternyata hanyalah satu diantara milyaran bintang
lainnya di galaksi bimasakti. Pada inti pusatnya, ia memiliki suhu 14
juta kelvin dengan tekanan 100 milyar kali lipat tekanan atmosfer di
bumi. Cahaya yang dipancarkan matahari berasal dari reaksi fusi
termonuklir yang terjadi pada inti bintang. Secara konveksi, energi
hasil reaksi fusi tersebut dialirkan ke permukaan. Dari aliran konveksi
tersebut, tercipta medan magnet yang sangat kuat di permukaan matahari.
Daerah-daerah medan magnet tersebut relatif gelap (lebih dingin) dari
pada sekitarnya, sehingga ia dinamakan bintik matahari atau sunspot.
Menurut Pak Ma’rufin, sunspot ini dianggap sebagai bendungan pasir
pada arus air yang liar, nah ketika kekuatannya sudah tak sanggup lagi
menahan tekanan arus, maka ia akan ‘jebol’. ‘Jebol’nya sunspot ini akan
memuntahkan kandungan energi yang disalurkan sebagai arus proton atau
elektron. Energi yang dilontaran keluar matahari tersebutlah yang
disebut sebagai angin matahari. Jika dengan intensitas yang besar maka
dinamakan badai matahari. Proses
terjadinya angin matahari. Dimulai dengan terbentuk nya sunspot yang
menciptakan medan magnet. Karena kekuatan sudah tak sanggup lagi menahan
tekanan arus, maka ia akan ‘jebol’. Jebol nya sunspot ini akan
memuntahkan kandungan energi yang disalurkan sebagai arus proton atau
elektron. Image Credit : UIO Oslo university
Perjalanan angin matahari menuju bumi, dapat ditempuh selama 18 jam
hingga 2 hari perjalanan antariksa. Ketika melewati Merkurius dan Venus,
angin matahari akan langsung begitu saja menerpa atmosfernya, sehingga
planet tersebut mengalami peningkatan suhu yang luar biasa akibat dari
terpaan aliran proton dan elektron yang dibawanya. Namun demikian, lain
halnya ketika angin matahari itu menghantam bumi.
Bumi ini bagaikan magnet yang berukuran sangat besar, dengan
kutub-kutub magnetnya hampir berdekatan dengan kutub geografis bumi.
Sehingga bumi ini dilapisi oleh medan magnet (magnetosfer) yang
berbentuk sebuah perisai yang mirip dengan buah apel, dimana bumi berada
pada inti buahnya dan magnetosfer berada pada kulit buah
apel.magnetosfer ini terdiri dari beberapa lapisan, dengan lapisan
terbawahnya, sabuk radiasi van allen yang berada di sekitar ekuator
(khatulistuwa). Layaknya sebuah perisai, magnetosfer dan sabuk van allen
melindungi bumi dari terpaan partikel angin matahari. Angin matahari ditunjukkan pada garis kuning sedang medan magnet bumi ditunjukkan pada garis biru.
Ketika angin matahari menerpa magnetosfer, partikel-partikel angin
matahari dibelokkan dan tertarik menuju kutub medan magnet bumi. Semakin
tinggi energi partikel, maka semakin dalam lapisan magnetosfer yang
berhasil ditembus olehnya. Aliran partikel yang tertarik ke kutub medan
magnet bumi akan bertumbukan dengan atom-atom yang ada di atmosfer.
Energi yang dilepaskan akibat reaksi dari proton dan elektron yang
bersinggungan dengan atom-atom di atmosfer, dapat dilihat secara visual
melalui pendar cahaya yang berwarna-warni di langit, atau yang kita
kenal sebagai Aurora. Di kutub utara bumi, aurora ini disebut sebagai
aurora borealis, dan di kutub selatan, disebut sebagai aurora australis. Interaksi antara angin matahari dengan medan magnet bumi. Sebagian partikel-partikel matahari tertarik menuju kutub.
Reaksi antara partikel angin matahari dengan atmosfer bumi,
menghasilkan berbagai macam warna pada aurora. Perbedaan warna ini
dipengaruhi oleh jenis atom yang berinteraksi dengan proton dan
elektron, mengingat pada ketinggian-ketinggian tertentu, jenis atom
penyusun atmosfer tidaklah sama. Pada ketinggian di atas 300 km,
partikel angin matahari akan bertumbukan dengan atom-atom hidrogen
sehingga terbentuk warna aurora kemerah-merahan. Semakin turun, yakni
pada ketinggian 140 km, partikel angin matahari bereaksi dengan atom
oksigen yang membentuk cahaya aurora berwarna biru atau ungu. Sementara
itu, pada ketinggian 100 km proton dan elektron bersinggungan dengan
atom oksigen dan nitrogen sehingga aurora tervisualisasikan dengan warna
hijau dan merah muda. Cahaya Aurora yang berwarna warni mengandung arti ketinggian.
Jika teman-teman berniat dan berminat untuk melihat keelokan aurora
secara langsung, bisa langsung saja berkunjung ke daerah-daerah lintang
tinggi, seperti Kanada, New Zeland, Antartika, dll. Ketika aktivitas
matahari dalam keadaan stabil, maka frekuensi terbentuknya aurora lebih
sering pada bulan-bulan ekuinoks. (ekuinoks musim semi jatuh pada
tanggal 23 Maret, dan ekuinoks musim gugur adalah tanggal 21 September).
Namun demikian ketika aktivitas matahari sedang meningkat, atau dengan
kata lain intensitas angin matahari tinggi, maka cahaya aurora pun akan
terbentuk semakin terang. Potret Aurora di kutub utara
0 komentar:
Posting Komentar